Saturday, March 19, 2011

TEORI HUKUM - FEMINIST LEGAL THEORY


PERKEMBANGAN FEMINIST LEGAL THEORY DIHUBUNGKAN DENGAN KEDUDUKAN WANITA DI INDONESIA

Tugas Mata Kuliah Teori Hukum
Dosen:
Prof. Dr. H.E. Saefullah W, S.H., LL.M.

Oleh:
Winda Wulandari
110620090029
Kelas A

PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
UNIVERSITAS PADJAJARAN
BANDUNG
2011




 
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Proses globalisasi yang bergulir tahun 80-an, bukan saja masalah kehidupan ekonomi, tetapi telah melanda dalam kehidupan politik, hankam, iptek, pendidikan, sosial budaya, dan hukum. Globalisasi di bidang politik tidak terlepas dari pergerakan tentang HAM, transparansi, dan demokratisasi.[1]
Bermula dari ditetapkannya deklarasi universal hak asasi manusia (DUHAM) atau Universal Declaration of Human Rights pada tahun 1948, di dalamya terkandung prinsip-prinsip dasar kemanusiaan, yakni menjunjung tinggi harkat dan martabat bangsa, Negara di muka bumi ini mesti berkomitmen untuk mengimplementasikannya.[2]
Manusia sejak lahir telah melekat kepadanya adalah hak kemerdekaan, hak makhluk dan harkat kemanusiaan, hak cinta kasih sesama, hak indahnya keterbukaan dan kelapangan, hak bebas dari rasa takut, hak nyawa, hak rohani, hak kesadaran, hak untuk tentram, hak untuk memberi, hak untuk menerima, hak untuk dilindungi dan melindungi dan sebagainya.
Derasnya arus globalisasi budaya, menyebabkan munculnya gerakan-gerakan yang menuntut kebebasan dan pembaharuan. Salah satunya gerakan feminisme, yang pertama kali muncul di negara Barat yang kemudian menyebar cepat ke seluruh pelosok dunia. Feminisme atau paham kesetaraan gender semakin deras pengaruhnya, terlebih setelah digelarnya Konferensi PBB IV tentang perempuan di Beijing tahun 1995. Di Indonesia, hasil konferensi tersebut dilaksanakan oleh para feminis, baik melalui lembaga pemerintah, seperti tim Pengarusutamaan Gender DEPAG, Departemen Pemberdayaan Perempuan, maupun melalui Lembaga Suara Masyarakat (LSM).
Perjuangan hak-hak perempuan timbul karena adanya suatu kesadaran, pergaulan, dan arus informasi yang membuat perempuan Indonesia semakin kritis dengan apa yang menimpa kaumnya. Pejuang hak-hak perempuan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh perkembangan feminisme yang ada di luar, baik itu di barat dan beberapa mendapat inspirasi dari feminis Islam.
Kebebasan merupakan harapan untuk dapat maju dan berkembang. Tuntutan akan kebebasan dalam perspektif kesetaraan gender lebih ditempatkan pada tuntutan akan kesejajaran hak antara kaum wanita dan kaum laki-laki.
            Berdasarkan pemaparan di atas, ada hal yang menarik untuk dapat dikaji dan diangkat dalam suatu tulisan berupa makalah. Untuk itu saya bermaksud mengangkat makalah yang berjudul:

“PERKEMBANGAN FEMINIST LEGAL THEORY DIHUBUNGKAN DENGAN KEDUDUKAN WANITA DI INDONESIA”


B.     Identifikasi Masalah

1.      Bagaimanakah implementasi aliran Feminist Legal Theory di Indonesia?
2.      Apakah hak-hak wanita di Indonesia telah dilindungi oleh peraturan perundang-undangan yang ada saat ini?















BAB II
PERKEMBANGAN FEMINIST LEGAL THEORY


A.    Sejarah Aliran Feminisme
Menurut sejarah berkembangnya, feminisme terbagi menjadi 3 gelombang. Gerakan feminisme pertama berkembang sejak tahun 1800 sampai sekitar tahun 1930. Gelombang pertama ini secara umum memiliki tujuan untuk meningkatkan kesamaan derajat dan hak wanita dengan pria. Dalam hal ini menyangkut hak pilih. Gelombang kedua dimulai pada akhir tahun 1960. Gelombang dua merujuk kepada ide-ide dan gerakan-gerakan liberal kaum wanita. Gelombang ke tiga dimulai di awal tahun 1990. Gelombang ketiga ini merupakan kelanjutan dari gelombang kedua, dan merupakan reaksi dari kegagalan di gelombang kedua.[3]
Di akhir abad 20, gerakan feminis banyak dipandang sebagai sempalan gerakan Critical Legal Studies, yang pada intinya banyak memberikan kritik terhadap logika hukum yang selama ini digunakan, sifat manipulatif dan ketergantungan hukum terhadap politik, ekonomi, peranan hukum dalam membentuk pola hubungan sosial, dan pembentukan hierarki oleh ketentuan hukum secara tidak mendasar.
Cukup banyak dan beberapa dari pergerakan ini (tidak semuanya) berakar atau berkaitan dengan Gerakan Hukum Kritis Critical Legal Studies Movement, namun sebagian besar gerakan ini berada di luar jalur tradisi-tradisi CLS dan bahkan pada kenyataannya dikembangkan justru sebagai suatu respon kritis terhadap pergerakan ini.[4]

1.      Gelombang Pertama
Bentuk awal daripada feminisme menyangkut persamaan hak antara wanita dan pria: dalam artian persamaan sebagai penduduk dalam kehidupan publik dan, lebih jauhnya berhubungan dengan persamaan status legal dalam rumah tangga. Ide ini timbul sebagai respon daripada revolusi Amerika (1775- 1783) dan revolusi Perancis (1789-1799), keduanya mendukung nilai-nilai daripada kebebasan dan kesamaan hak.
Feminisme sebagai filsafat dan gerakan dapat dilacak dalam sejarah kelahirannya dengan kelahiran era Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda pada tahun 1785. Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai universal sisterhood.
Kata feminisme belum digunakan sampai akhir abad ke-19. Feminisme Gelombang Pertama ditandai dengan dikreasikannya kata Feminisme oleh aktivis sosial utopis, yaitu Charles Fourier pada tahun 1937, dan berkembangnya pergerakan center Eropa yang berpindah ke Amerika sejak ada publikasi dari John Stuart Mill, the Subjection of Women (1869). Yang isinya sebagian terinfluens dari istrinya yaitu Harriet Taylor.
Pada awalnya gerakan ini memang diperlukan pada masa itu, dimana ada masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin) khususnya dalam masyarakat yang patriarki sifatnya. Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan lebih-lebih politik hak-hak kaum ini biasanya memang lebih inferior ketimbang apa yang dapat dinikmati oleh laki-laki, apalagi masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris cenderung menempatkan kaum laki-laki didepan, di luar rumah dan kaum perempuan di rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang gemanya kemudian melanda Amerika Serikat dan ke seluruh dunia.
Suasana demikian diperparah dengan adanya fundamentalisme agama yang cenderung melakukan opresi terhadap kaum perempuan. Di lingkungan agama Kristen pun ada praktek-praktek dan kotbah-kotbah yang menunjang situasi demikian, ini terlihat dalam fakta bahwa banyak gereja menolak adanya pendeta perempuan bahkan tua-tua jemaat pun hanya dapat dijabat oleh pria. Banyak kotbah-kotbah mimbar menempatkan perempuan sebagai mahluk yang harus tunduk kepada suami.
Dari latar belakang demikianlah di Eropa berkembang gerakan untuk ´menaikkan derajat kaum perempuan´ tetapi gaungnya kurang keras, baru setelah di Amerika Serikat terjadi revolusi sosial dan politik, perhatian terhadap hak-hak kaum perempuan mulai mencuat. Di tahun 1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul Vindication of the Right of Woman yang isinya dapat dikata meletakkan dasar prinsip-prinsip feminisme dikemudian hari. Dalam karya tulis ini, dia menuntut persamaan dan edukasi yang lebih baik untuk wanita dan menciptakan kritik terhadap sistem sosial yang menurunkan wanita ke posisi orang bawahan. Pada awal abad ke-19, grup2 kecil dari wanita kelas menengah di Inggris mulai menyuarakan edukasi yang lebih baik, hak-hak legal yang berkembang (terutama dalam pernikahan), kesempatan kerja, dan hak pilih.
Secara umum pada gelombang pertama dan kedua hal-hal berikut ini yang menjadi momentum perjuangannya: gender inequality, hak-hak perempuan, hak reproduksi, hak berpolitik, peran gender, identitas gender dan seksualitas. Gerakan feminisme adalah gerakan pembebasan perempuan dari: rasisme, stereotyping, seksisme, penindasan perempuan, dan phalogosentrisme.
Sampai di akhir abad ke-19, ada lagi pemikiran feminis muncul yang mempertanyakan perilaku sosial terhadap wanita. Perilaku ini di ekspresikan melalui representasi dalam wanita di literatur dan bentuk-bentuk seni dan peraturan-peraturan untuk perilaku wanita. Setelah menginjak abad ke 20, media di Amerika Utara dan Eropa jadi mengasyikkan dengan image dari “wanita baru”. Dalam hal ini, wanita tidak hanya melawan patriarki yang menuntut persamaan hak dalam masyarakat, tetapi juga dengan menantang adat dan memilih gaya hidupnya dan pakaiannya sendiri.
2.      GELOMBANG KEDUA:
Setelah berakhirnya perang dunia kedua, ditandai dengan lahirnya negara-negara baru yang terbebas dari penjajah Eropa, lahirlah Feminisme Gelombang Kedua pada tahun 1960. Dengan puncak diikutsertakannya perempuan dalam hak suara parlemen. Pada tahun ini merupakan awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut mendiami ranah politik kenegaraan.
Pendorong dari munculnya Feminisme Gelombang Kedua datang dari pergerakan hak-hak masyarakat, dan gerakan protes antiperang yang berlangsung pada tahun 1960 di Amerika Utara dan melalui protes-protes sosial yang terjadi di Eropa dan Australasia.
Pergerakan kebebasan wanita, yang dimulai di Amerika Serikat, liberal yang sudah dikombinasikan, perhatian-perhatian yang berdasarkan hak-hak memperoleh persamaan antara wanita dan pria dengan tuntutan hak wanita untuk menentukan identitas dan sexualitynya sendiri. Pergerakan ini dimulai antara tahun 1970 dan 1978, diantaranya menuntut kesamaan gaji, kesamaan pendidikan dan kesempatan kerja, kesamaan finansial dan kebebasan yang legal, kebebasan selama 24 jam dalam mengasuh anak, kebebasan dalam menggunakan kontrasepsi dan tuntutan diperbolehkannya aborsi, hak wanita untuk mendefinisikan kecenderungan seksualnya dan menuntut akhir dari diskriminasi kepada kaum lesbian, dan pembebasan dari kekerasan dan paksaan dalam seks.
Gelombang kedua ini menekankan kepada perbedaan wanita dengan pria secara fisik dan psikologis. Beberapa feminis mengkritik psikoanalisis yang merupakan karya Sigmund Freud yang mengasumsikan bahwa semua manusia itu adalah atau harus seperti pria.
Salah satu bagian dari feminisme yang kuat mengenai bagaimana pria mengendalikan dan memperbudak tubuh wanita. Bagaimana patriarki mengeksploitasi tubuh wanita dan mendorong terjadinya kekerasan terhadap wanita.
Banyak kasus menempatkan perempuan dunia ketiga dalam konteks "all women". Dengan apropriasi bahwa semua perempuan adalah sama. Dalam beberapa karya sastra novelis perempuan kulit putih yang ikut dalam perjuangan feminisme masih terdapat lubang hitam, yaitu: tidak adanya representasi perempuan budak dari tanah jajahan sebagai Subyek. Penggambaran pejuang feminisme adalah yang masih mempertahankan posisi budak sebagai yang mengasuh bayi dan budak pembantu di rumah-rumah kulit putih.
Perempuan dunia ketiga tenggelam sebagai Subaltern yang tidak memiliki politik agensi selama sebelum dan sesudah perang dunia kedua. Selama sebelum PD II, banyak pejuang tanah terjajah Eropa yang lebih mementingkan kemerdekaan bagi laki-laki saja. Terbukti kebangkitan semua Negara-negara terjajah dipimpin oleh elit nasionalis dari kalangan pendidikan, politik dan militer yang kesemuanya adalah laki-laki. Pada era itu kelahiran feminisme gelombang kedua mengalami puncaknya. Tetapi perempuan dunia ketiga masih dalam kelompok yang bisu.
Dengan keberhasilan gelombang kedua ini, perempuan dunia pertama melihat bahwa mereka perlu menyelamatkan perempuan-perempuan dunia ketiga, dengan asumsi bahwa semua perempuan adalah sama. Dengan asumsi ini, perempuan dunia ketiga menjadi obyek analisis yang dipisah dari sejarah kolonialisasi, rasisme, seksisme, dan relasi sosial.
Gelombang feminisme di Amerika Serikat mulai lebih keras bergaung pada era perubahan dengan terbitnya buku The Feminine Mystique yang ditulis oleh Betty Friedan di tahun 1963. Buku ini ternyata berdampak luas, lebih-lebih setelah Betty Friedan membentuk organisasi wanita bernama National Organization for Woman (NOW) di tahun 1966 gemanya kemudian merambat ke segala bidang kehidupan. Dalam bidang perundangan, tulisan Betty Friedan berhasil mendorong dikeluarkannya Equal Pay Right (1963) sehingga kaum perempuan bisa menikmati kondisi kerja yang lebih baik dan memperoleh gaji sama dengan laki-laki untuk pekerjaan yang sama, dan Equal Right Act (1964) dimana kaum perempuan mempunyai hak pilih secara penuh dalam segala bidang. Gerakan perempuan atau feminisme berjalan terus, sekalipun sudah ada perbaikan-perbaikan, kemajuan yang dicapai gerakan ini terlihat banyak mengalami halangan.
3.      GELOMBANG KETIGA :
Feminisme gelombang ketiga dimulai di awal tahun 1990an, melalui munculnya respons dari kegagalan yang ada pada gelombang kedua, dan juga merupakan respons dari pukulan terhadap inisiative dan pergerakan yang tercipta di gelombang kedua. Gelombang ketiga melihat kesempatan untuk menantang atau menghindari apa yang dipertimbangkan sebagai definisi esensia dari feminity dari gelombang kedua, yang menurut mereka terlalu menekankan kepada pengalaman dari wanita kulit putih kelas menengah keatas. Sebuah interpretasi post-structuralis daripada jender dan seksualitas merupakan pusat dari ideologi-ideologi yang ada di gelombang ketiga. Feminis di gelombang ketiga ini lebih fokus kepada “mikro politik” dan menantang paradigma di gelombang kedua tentang apa yang baik dan tidak untuk kaum wanita. Tokoh- tokoh pimpinan feminist : Gloria Anzaldua, Bell Hooks, Chela Sandoval, Cherrie Moraga, Audre Lorde, Maxine Hong Kingston, dan beberapa feminis kulit hitam, melihat negosiasi ruang antara feminis yang mempertimbangkan juga mengenai ras sebagai subjek.
Gelombang ketiga juga mengandung debat antara perbedaan para feminis, seperti debat antara seorang psikologis bernama Carol Gilligan yang percaya bahwa ada perbedaan penting antara seks, dengan yang percaya bahwa tidak ada perbedaan yang melekat antara seks dan berpendapat mengenai peran jender dalam pengkondisian dunia sosial.
Post Feminisme
Post Feminism mendeskripsikan beberapa sudut pandang terhadap feminisme. Termin ini pertama kali digunakan pada tahun 1980an untuk mendeskripsikan pukulan melawan feminisme gelombang kedua. Post feminists mengatakan bahwa feminisme tidak lagi relevan pada masyarakat saat ini. Amelia Jones telah menuliskan bahwa tulisan post feminists yang muncul pada tahun 1980an dan 1990an melukiskan feminisme gelombang kedua sebagai sesuatu yang monolitik dan mengkritiknya menggunakan generalisasi.
Beberapa feminis kontemporer, seperti Kathe Pollitt atau Nadine Strossen, mempertimbangkan bahwa feminisme hanya berpegang pada pernyataan bahwa “women are people”. Pandangan yang memisahkan seks daripada menyatukannya dipertimbangkan oleh penulis-penulis ini sebagai seksist, bukan feminist.
Susan Faludi, dalam bukunya yang berjudul Backlash: The Undeclared War Against American Women, berargumen bahwa pukulan melawan feminisme gelombang kedua di tahun 1980 telah secara sukses mendefinisikan kembali feminisme lewat istilah-istilah yang ada. Menurut dia, tipe pukulan ini adalah trend sejarah, akan terulang ketika hal tersebut terjadi bahwa wanita telah menciptakan keuntungan yang substansial dalam hal usahanya untuk memperoleh persamaan hak.
Timbulnya gerakan feminis merupakan gambaran bahwa ketentuan yang abstrak tidak dapat menyelesaikan ketidaksetaraan.
Hal-hal yang berperan mengakibatkan subordinasi terhadap wanita, yaitu:
a.       Klasifikasi yang didasarkan pada gender
b.      Pilihan-pilihan politik yang diberikan
c.       Pengaturan-pengaturan  institusional yang tersedia.
Menurut Deborah L. Rhode, ada tiga komitmen sentral feminis, yaitu:
a.       Tingkat politis, mengupayakan kesederajatan antara pria dan wanita.
b.      Tingkat substantive, mengangkat isu gender sebagai focus analisis dengan untuk merumuskan kembali praktek hukum yang selama ini mengesampingkan, tidak menghargai dan meremehkan kepentingan wanita.
c.       Tingkat metodologis, mempersiapkan kerangka kerja dunia yang menggunakan pengalaman (wanita) yang ada guna mengidentifikasi transformasi sosial yang mendasar bagi tercapainya kesedarajatan gender sepenuhnya. Nilai-nilai yang secara tradisional berkaitan erat dengan wanita dihargai, dan setiap strategi perubahan struktur sosial yang akan dilakukan tidak sekedar memadukan wanita kedalam struktur yang telah dibentuk menurut pandangan pria.
Tuntutan feminis di abad ke-18 dan ke-19 dengan tokohnya Elizabeth Cady Stanto dan Abigail Adams antara lain adalah :
1)      Hak suara yang sama dengan pria
2)      Hak wanita yang sudah menikah untuk dapat membuat kontrak/perjanjian atas namanya sendiri
3)      Hak atas kepemilikan
4)      Refomasi terhadap lembaga perkwaninan
5)      Hak untuk mengendalikan perkawinan
6)      Hak sebagai pekerja (antara lain: dihilangkan batas jam kerja, batas jenis pekerjaan dll)
7)      Hak untuk menjadi juri dalam pengadilan
8)      Hak lain yang pada masa itu bertentangan dengan hukum, praktek sosial.
Pada masa sekarang, tuntutan feminis dibidang hukum mencakup segala bidang, misalnya:
a)      Dalam kasus perkosaan: pembelaan pria yang mengatakan bahwa mereka tidak melakukan perkosaan karena ada kemauan/kesepakatan bersama. Interpretasi kemauan/kesempatan bersama yang sering digunakan adalah yang didasarkan pada interpretasi pria dan bukan interpretasi wanita.
(1)          Dalam kasus ketenagakerjaan, masalah antara pekerja wanita dan kewajibannya terhadap keluarga lebih dianggap sebagai masalah privat wanita untuk diselesaikannya sendiri dalam keluarga daripada masalah publik pemberi kerja untuk menyediakan sarana keperluan itu dari tempat kerja agar masalah tersebut dapat diselesaikan.
(2)          Dalam kontrak, kebebasan berkontrak seharusnya tidak hanya kebebasan dalam membuat dalam melakukan interpretasi terhadap kontrak tersebut.
Perjuangan melalui agenda politik dan hukum, meliputi :
(a)          Membawa pengalaman, perspektif, dan suara wanita kedalam aturan hukum agar mampu memberdayakan wanita serta memberi legitimasi terhadap pengalaman tersebut.
(b)          Menciptakan hukum yang lebih memberikan ruang kepada keragaman dan komplesitas.[5]

B.     Macam-macam Aliran Feminimisme
  Ada beberapa macam aliran dalam gerakan feminisme. yaitu:[6]
1.      Feminisme Liberal. Gerakan ini muncul di awal abad 18, berbarengan dengan lahirnya zaman pencerahan. Pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia -demikian menurut mereka- punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka "persaingan bebas" dan punya kedudukan setara dengan lelaki. Feminis Liberal memilki pandangan mengenai negara sebagai penguasa yang tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda yang berasl dari teori pluralisme negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum Pria, yang terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin”, tetapi mereka juga menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentiangan dan pengaruh kaum pria tadi. Singkatnya, negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan yang memeng memiliki kendali atas negara tersebut. Untuk kebanyakan kaum Liberal Feminis, perempuan cendrung berada “didalam” negara hanya sebatas warga negara bukannya sebagai pembuat kebijakan. Sehingga dalam hal ini ada ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara. Pun dalam perkembangan berikutnya, pandangan dari kaum Feminist Liberal mengenai “kesetaraan” setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri terhadap perkembangan “pengaruh dan kesetaraan perempuan untuk melakukan kegiatan politik seperti membuat kebijakan di sebuah negara”.
2.      Feminisme Marxis Tradisional, yang mendasarkan pada marxisme. Para penganutnya memperjuangkan perlawanan terhadap sistem sosial ekonomi yang eksploitatif terhadap perempuan. Penindasan terhadap perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam sistem produksi. Seiring dengan revolusi proletar yang meruntuhkan sistem kelas, maka penindasan terhadap perempuan juga akan hilang.
3.      Feminisme Radikal, Trend ini muncul sejak pertengahan tahun 1970-an di mana aliran ini menawarkan ideologi "perjuangan separatisme perempuan". Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan ini adalah sesuai namanya yang "radikal".
4.      Feminis Liberal memilki pandangan mengenai negara sebagai penguasa yang tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda yang berasl dari teori pluralisme negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum Pria, yang terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin”, tetapi mereka juga menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentiangan dan pengaruh kaum pria tadi. Singkatnya, negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan yang memeng memiliki kendali atas negara tersebut. Untuk kebanyakan kaum Liberal Feminis, perempuan cendrung berada “didalam” negara hanya sebatas warga negara bukannya sebagai pembuat kebijakan. Sehingga dalam hal ini ada ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara. Pun dalam perkembangan berikutnya, pandangan dari kaum Feminist Liberal mengenai “kesetaraan” setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri terhadap perkembangan “pengaruh dan kesetaraan perempuan untuk melakukan kegiatan politik seperti membuat kebijakan di sebuah negara”
5.      Feminisme Sosialis, ialah sebuah faham yang berpendapat "Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan. Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme". Feminisme sosialis berjuang untuk menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang menginginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender. Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis. Aliran ini mengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap patriarkilah sumber penindasan itu.
6.      Postkolonial Dasar pandangan ini berakar di penolakan universalitas pengalaman perempuan. Pengalaman perempuan yang hidup di negara dunia ketiga (koloni/bekas koloni) berbeda dengan prempuan berlatar belakang dunia pertama. Perempuan dunia ketiga menanggung beban penindasan lebih berat karena selain mengalami pendindasan berbasis gender, mereka juga mengalami penindasan antar bangsa, suku, ras, dan agama. Dimensi kolonialisme menjadi fokus utama feminisme poskolonial yang pada intinya menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan, nilai-nilai, cara pandang, maupun mentalitas masyarakat. Beverley Lindsay dalam bukunya Comparative Perspectives on Third World Women: The Impact of Race, Sex, and Class menyatakan, “hubungan ketergantungan yang didasarkan atas ras, jenis kelamin, dan kelas sedang dikekalkan oleh institusi-institusi ekonomi, sosial, dan pendidikan.”

C.    Pengertian Kesetaraan Gender
Istilah Gender pertama kali diperkenalkan oleh Robert Stoller pada tahun 1968 untuk memisahkan pencirian manusia yang didasarkan pada pendefinisian yang bersifat social budaya dengan ciri-ciri fisik biologis.
            Istilah Gender mulai terdengar melalui Konferensi Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) di Kairo Tahun 1994. Kemudian berkembang di Konferensi Wanita Sedunia keempat di Beijing Tahun 1995 yang kemudian menghasilkan Beijing Platform for Action yang isinya tentang 12 critical Area bagi wanita.
            Pengertian Kesetaraan Gender adalah: Kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan.[7] 
Isu gender mengemuka karena budaya suatu masyarakat yang mengaitkan peran di masyarakat dengan jenis kelamin. Akibat dari budaya ini timbul tindakan yang membuat suatu jenis kelamin lebih superior dari jenis kelamin yang lain, misalnya: ada pekerjaan yang khusus laki-laki dan pekerjaan yang khusus untuk perempuan. Diskriminasi ini menimbulkan ketidakadilan gender. Budaya dalam masyarakat biasanya juga berimbas dalam penyelenggaraan pemerintahan sehingga dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintah, tanpa disadari, banyak mengakibatkan ketidakadilan gender.

D.    Kesetaraan Gender di Indonesia
Feminisme lahir karena imbas dari gagasan gender. Permasalahan kesetaraan Gender merupakan hal yang terus disuarakan untuk mendapat perlakuan yang sama dalam hukum. Di Indonesia dikenal dengan emansipasi. R.A Kartini dikenal sebagai pelopor pergerakan emansipasi di Indonesia.
Keberhasilan Pembangunan Nasional di Indonesia baik yang dilaksanakan oleh pemerintah swasta maupun masyarakat sangat tergantung dari peran serta laki-laki dan perempuan sebagai pelaku dan pemanfaat hasil Pembangunan. Dalam proses pembangunan, posisi dan manfaat pembangunan haruslah dilaksanakan dan dirasakan secara seimbang antara laki-laki dan perempuan sehingga dapat mewujudkan kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG). Dalam upaya pemberdayaan kemampuan di semua kegiatan, pemerataan dan kesetaraan Gender perlu dikembangkan.
Upaya mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG), di Indonesia dituangkan dalam kebijakan nasional, sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional – PROPENAS 2000-2004, dan dipertegas dalam Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional, sebagai salah satu strategi untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender. Inpres No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, mengamanatkan kepada seluruh departemen maupun lembaga non departemen dan pemerintah propinsi dan Kabupaten atau Kota untuk melakukan pengarusutamaan gender dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan penilaian dari seluruh kebijakan dan program pembangunan.
Dengan dukungan oleh adanya pergeseran paradigma sifat pemerintah yaitu dari:
a) Otokratik ke demokratik,
b) Monolitik ke pluralistik
c) Sentralistik ke desentralistik,
 d) Unilateral ke interaksionis,
e) Internal ke eksternal
Maka untuk mengurangi kesenjangan dan masalah tersebut hendaknya seluruh kebijakan, program, proyek dan kegiatan pembangunan dan anggaran harus sensitif dan responsif terhadap permasalahan gender. Selama ini Indonesia sudah berupaya mempertimbangkan kepentingan dan manfaat pembangunan secara adil dan merata terhadap perempuan dan laki-laki, sehingga diharapkan hal tersebut memberi kontribusi terjadinya pengurangan ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender (kesenjangan gender) yang akan menimbulkan permasalahan/isu gender.
BAB III
PERKEMBANGAN FEMINIST LEGAL THEORY DIHUBUNGKAN DENGAN KEDUDUKAN WANITA DI INDONESIA

A.    Implementasi Feminist Legal Theory di Indonesia

Feminisme berasal dari bahasa Latin, femina atau perempuan. Istilah ini mulai digunakan sekitar tahun 1890, Mengacu pada teori kesetaraan laki-laki dan perempuan serta pergerakan untuk memperoleh hak-hak perempuan. Sekarang ini kepustakaan internasional mendefinisikannya sebagai pembedaan terhadap hak hak perempuan yang didasarkan pada kesetaraan perempuan dan laki laki.
Dalam perkembangannya secara luas, kata feminis mengacu kepada siapa saja yang sadar
dan berupaya untuk mengakhiri subordinasi yang dialami perempuan. Feminisme sering dikaitkan dengan emansipasi. Emansipasi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai pembebasan atau dalam hal isu-isu perempuan, hak yang sama antara laki laki dan perempuan. R.A Kartini yang berjuang untuk kebebasan perempuan dari norma-norma tradisional yang menindas melalui pendidikan adalah figur yang sangat terkenal dalam perjuangan emansipasi perempuan.
Pergerakan kesetaraan mulai disadari perempuan, dan sedikit banyak mulai mengubah masyarakat sejak tahun 1950 dan 1960. Pada 12 Juli 1963, muncul gerakan global yang dipelopori perempuan melalui Ecosoc (PBB). Pemerintah RI mengakomodasinya di tahun 1968, dengan membentuk Komite Nasional Kedudukan Wanita Indonesia.
Perbincangan dan perjuangan hak-hak perempuan timbul karena adanya suatu kesadaran, pergaulan, dan arus informasi yang membuat perempuan Indonesia semakin kritis dengan apa yang menimpa kaumnya. Pejuang hak-hak perempuan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh perkembangan feminisme yang ada di luar, baik itu di barat dan beberapa mendapat inspirasi dari feminis Islam.
Hak-hak yang melekat dalam diri wanita merupakan hak asasi manusia karena wanita adalah manusia juga, yang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat sama halnya dengan pria.[8]
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Wanita melalui Undang-undang No. 7 Tahun 1984, yang intinya konvensi ini merupakan suatu perjanjian internasional yang mengandung ketentuan bahwa negara-negara yang meratifikasinya mempunyai kewajiban hukum untuk menyelenggarakan semua jenis upaya untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita, yaitu diskriminasi dalam pendidikan, akses terhadap pelayanan kesehatan dan keluarga berencana, perolehan kesempatan untuk memperoleh pekerjaan, kecakapan bertindak di depan hukum, dan diskriminasi dalam hukum keluarga, serta menghapuskan diskriminasi dalam berpartisipasi di bidang kehidupan politik dalam ruang lingkup domestik, publik dan politik internasional dan dalam kesempatan berpartisipasi di bidang kebudayaan. Di dalamnya juga tercakup upaya-upaya untuk menghapuskan stereotip jender dan pelacuran dan dijanjikan juga bahwa perhatian khusus akan diberikan kepada wanita di daerah pedesaan.[9]
Saat ini di parlemen Indonesia, wanita telah menempati quota 30% dalam keanggotaan legislatif, hal ini merupakan suatu kemajuan, karena sebelumnya wanita belum pernah memiliki hak suara di parlemen. Bahkan, Indonesia pernah dipimpin oleh seorang wanita yaitu presiden Megawati Soekarno Putri, hal ini menngambarkan bahwa perempuan mempunyai andil hebat dalam politik dan perekonomian Negara Indonesia.
Namun, di lapangan, masih saja terdapat kasus-kasus yang mendiskriminasikan wanita. misalnya:
1.      Dalam kontrak kerja (biasanya di Bank, Stasiun TV) dalam masa kerja tertentu, calon pegawai tidak diperbolehkan menikah selama kontrak kerja berlangsung, apabila melanggar akan dikenakan sanksi berupa pemutusan kontrak kerja. Dalam hal ini jelas kedudukan wanita masih dianggap lemah, karena hak-hak wanita sebagai istri tidak diakui. Sementara, mengenai perkawinan merupakan hak asasi setiap manusia. Pertimbangan pelarangan menikah dalam masa kontrak, mungkin dikhawatirkan calon pegawai yang masih dalam masa kontrak kerja akan mengambil cuti menikah atau cuti hamil, yang nantinya akan merugikan perusahaan. Terhadap hal ini seharusnya bukan pelarangan menikah, melainkan pelarangan untuk mengambil cuti selama masa kontrak kerja. Jadi kontrak kerjanya yang harus direvisi. Karena pelarangan menikah itu merupakan pelanggaran terhadap hak asasi setiap manusia.  
2.      Dalam hal mendapatkan hak wanita atas kesempatan kerja yang sama dengan pria, kebebasan memilih profesi, pekerjaan, promosi dan pelatihan. Misalnya, dalam suatu perusahaan, promosi jabatan lebih diutamakan untuk pria karena dibandingkan dengan wanita, pria dipercaya bisa lebih baik daripada wanita. Pemimpin wanita seringkali dianggap bertindak dan berpikir secara emosionil daripada pria yang menggunakan logika. Sehingga, dalam mengambil keputusan, pria cenderung lebih dipercaya daripada wanita.
3.      Dalam hal pengupahan pun, upah buruh wanita di pabrik-pabrik biasanya lebih rendah daripada pria. Disini terlihat adanya ketidaksetaraan kedudukan pria dan wanita.

Jadi, bisa disimpulkan bahwa implementasi Feminist Legal Theory telah diterima cukup baik di Indonesia, dilihat dari kedudukan wanita di era sekarang ini sudah mendapatkan posisi yang cukup baik, namun pada prakteknya masih saja ada pendiskriminasian terhadap wanita. Hal ini tentu sangat wajar, mengingat adat istiadat di Indonesia sejak jaman dulu menganggap kedudukan wanita sangat lemah. Tetapi di era globalisasi ini, kedudukan wanita sudah dianggap hampir dapat setara dengan pria.

A.    Perlindungan terhadap hak-hak wanita dalam Peraturan perundang-undangan di Indonesia

Manusia sejak lahir telah melekat kepadanya adalah hak kemerdekaan, hak makhluk dan harkat kemanusiaan, hak cinta kasih sesama, hak indahnya keterbukaan dan kelapangan, hak bebas dari rasa takut, hak nyawa, hak rohani, hak kesadaran, hak untuk tentram, hak untuk memberi, hak untuk menerima, hak untuk dilindungi dan melindungi dan sebagainya.
Dalam masyarakat hukum yang sederhana, kehidupan masyarakat terikat ketat oleh solidaritas mekanis, persamaan kepentingan dan kesadaran, sehingga masyarakat lebih menyerupai suatu keluarga besar, maka hukum cenderung berbentuk tidak tertulis. Bentuk hukum ini dikenal sebagai budaya hukum tidak tertulis (unwritten law) dan terdapat pada masyarakat-masyarakat tradisional seperti pada masyarakat Anglo-Saxon, Britania, dan masyarakat-masyarakat tradisional lainnya, seperti pada masyarakat Eskimo, Indian dan masyarakat Hukum adat di Indonesia. Dalam bentuknya sebagai kebiasaan, hukum dianggap tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Hukum dibentuk dan diberlakukan oleh dan di dalam suatu masyarakat.[10] Kalau diadakan penilaian mengenai buruk-baiknya suatu perilaku, biasanya tidak disadari tentang adat istiadat yang menciptakan kaidah moral yang menjadi dasar penilaian.[11]
Hubungan langsung yang paling penting antara konstitusionalisme dan HAM sangat jelas. Tanpa konstitusionalisme orang tidak dapat berharap banyak akan adanya penghormatan kepada HAM. Memang rezim otokratik dan diktator pun memasukan undang-undang mengenai hak-hak dalam kontitusi mereka. Akan tetapi, karena praktek pemerintahan mereka yang tidak didasarkan atas kekuasaan yang bukan tidak terbatas dan penghormatan kepada otonomi individu, maka HAM sering kali merupakan korban dalam sistem tersebut. Jadi, pemapanan konstitusionalisme merupakan prakondisi bagi tegaknya HAM.[12]
Adat istiadat di Indonesia menganggap kedudukan wanita lebih rendah dibanding pria, namun pergerakan kaum pejuang wanita seperti R.A Kartini yang menyuarakan suara agar wanita dapat disetarakan kedudukannya dengan pria pada akhirnya membuahkan hasil, hal ini dapat terlihat dari isi Undang-undang Dasar tahun 1945 yang mencantumkan dalam Pasal 27 (1) bahwa, semua orang mempunyai kedudukan yang sama di muka hukum. Jadi sejak tahun 1945 Indonesia telah mengakui prinsip kesetaraan pria dan wanita di depan hukum.
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 31 (1) menjelaskan bahwa hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama di masyarakat. Dalam Pasal 35 (1), harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjad harta bersama, lalu dalam Pasal 36 (1) mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
Ketentuan tersebut mengandung makna, bahwa terhadap istri harus diberikan kedudukan yang setara dengan suami. Dalam ketentuan GBHN 1993-1998 juga dikemukakan bahwa prinsip kesetaraan pria dan wanita seperti berikut:
“Wanita, baik sebagai warga Negara maupun sebagai sumber daya insani pembangunan, mempunyai hak dan kewajiban serta kesempatan yang sama dengan pria dalam pembangunan di segala bidang.”

Di bidang hukum yang mengatur tentang hak-hak tenaga kerja, Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO No. 100 yaitu mengenai pengupahan yang sama untuk pria dan wanita pekerja untuk pekerjaan yang sama nilai, sehingga kita terikat untuk mengintegrasikannya ke dalam perundang-undangan kita.[13]
Semua ketentuan undang-undang serta ketentuan dalam GBHN tersebut menjadi bukti nyata bahwa pembuat undang-undang di Negara Indonesia memang menyetujui prinsip kesetaraan pria dan wanita. Kemudian ketentuan harus dijamin, bahwa wanita menikmati perlindungan hak-hak asasinya seperti halnya pria.
Setidaknya di bidang perundangan, Indonesia mempunyai Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Perlindungan HAM, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik dan Pemilu, Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan, Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan lain-lain.
Meski demikian, beberapa perundangan tersebut masih memerlukan kajian gender yang lebih mendalam, terutama soal implementasi di lapangan. Dengan demikian, untuk mencapai tujuan tersebut, kaum perempuan tetap harus mengoptimalkan kemampuannya agar menjadi sumber daya manusia yang potensial. Hal itu bisa membuat persepsi, eksistensi, dan peluang perempuan yang telah terstruktur dalam masyarakat menjadi makin terbuka, termasuk membangun kaum ibu melalui pembangunan keluarga berkualitas.









BAB IV
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Aliran Feminisme adalah aliran yang ingin memperjuangkan hak-hak dari kaum wanita agar mendapat hak yang sama tanpa adanya diskriminasi. Karena sejarah telah membuktikan bahwa hak-hak kaum wanita sering di kesampingkan dalam segala hal baik keluarga maupun hukum, kemudian negara kurang melindungi hak-hak kaum wanita dengan aturan hukum yang ada padahal hak-hak kaum wanita rentan terhadap pelanggaran-pelanggaran yang sering merugikan kaum wanita. Karena secara esensinya wanita makluk yang lemah dibandingkan dengan pria.
Masih banyak  peraturan perundangan-undangan di Indonesia harus  memerlukan kajian gender yang lebih mendalam, terutama soal implementasi di lapangan. Dengan demikian, untuk mencapai tujuan tersebut, kaum perempuan tetap harus mengoptimalkan kemampuannya agar menjadi sumber daya manusia yang potensial. Hal itu bisa membuat persepsi, eksistensi, dan peluang perempuan yang telah terstruktur dalam masyarakat menjadi makin terbuka, termasuk membangun kaum ibu melalui pembangunan keluarga berkualitas.










DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Anom Surya Putra, Teori Hukum Kritis Struktur Ilmu dan Riset Teks, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003
Karo Karo, Ida Sampit, “Hak-hak Wanita dan Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita”, Makalah Seminar Universitas Surabaya, 5 Juli 1997
Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju, Bandung, 2003
Muhammad Siddiq, Perkembangan Teori Ilmu Hukum, Pradya Paramita, Jakarta, 2008
Muladi, Pergerakan Hak Asasi Manusia; Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama, Bandung,
P. Goldfarb, From the Words of Others; Minority and Feminist Response to Critical Legal Studies, New England, Law Review 26; 683-710; dan K. Barlett dan R Kenedy, Feminist Legal Theory; Reading in Law Gender, Oxford Westview Press, 1991; terbitan khusus dua volume New England Review, vol. 26 no. 3 dan 4, 1992 dikutip dari Dikutip dari Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum; Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, hlm. 130 

Romany Sihite, Perempuan, Kesetaraan, dan Keadilan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007
Soerjono Soekanto, Teori Yang Murni Tentang Hukum, Alumni, Bandung, 1985
Tapi Omas Rohmi (et.al), Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, Alumni, Bandung, 2000

Undang-undang:
Undang-undang Dasar 1945
Undang-undang No. 25 Tahun 2000 tentang PROPENAS 2004-2005
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT)
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Perlindungan HAM,

Sumber lain:
http://www.wikipedia.org/wiki/Feminisme di akses Tgl 5 Januari 2011
http://www.genderpedia.org, di akses Tgl 5 Januari 2011



[1] Muladi, Pergerakan Hak Asasi Manusia; Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama, Bandung, hlm. 6
[2] Romany Sihite, Perempuan, Kesetaraan, dan Keadilan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007,  hlm. 171
[4] P. Goldfarb, From the Words of Others; Minority and Feminist Response to Critical Legal Studies, New England, Law Review 26; 683-710; dan K. Barlett dan R Kenedy, Feminist Legal Theory; Reading in Law Gender, Oxford Westview Press, 1991; terbitan khusus dua volume New England Review, vol. 26 no. 3 dan 4, 1992 dikutip dari Dikutip dari Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum; Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2005,  hlm. 130 
[5] Muhammad Siddiq, Perkembangan Teori Ilmu Hukum, Pradya Paramita, Jakarta, 2008, hlm. 14
[6] http://www.wikipedia.org/wiki/Feminisme,  di akses Tgl 5 Januari 2010
[7] www.genderpedia.org
[8] Ida Sampit Karo Karo,  Hak-hak Wanita dan Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, Makalah Seminar Universitas Surabaya,5 Juli 1997
[9] Tapi Omas Rohmi (et.al), Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, Alumni, Bandung, 2000, hlm.202
[10] Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm. 155
[11] Soerjono Soekanto, Teori Yang Murni Tentang Hukum, Alumni, Bandung, 1985, hlm. 29
[12] Anom Surya Putra, “Teori Hukum Kritis Struktur Ilmu dan Riset Teks”, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 70-71
[13] Tapi Omas Rohmi (et.al), Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, Alumni, Bandung, 2000, hlm. 64