Wednesday, March 9, 2011

Penemuan Hukum


ANALISIS YURIDIS TENTANG PENCEMARAN NAMA BAIK DIKAITKAN DENGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DAN UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI TEKNOLOGI DALAM KASUS SURAT ELEKTRONIK PRITA MULYASARI


BAB I
PENDAHULUAN
  1. LATAR BELAKANG
            Manusia sejak lahir telah melekat kepadanya adalah hak kemerdekaan, hak makhluk dan harkat kemanusiaan, hak cinta kasih sesama, hak indahnya keterbukaan dan kelapangan, hak bebas dari rasa takut, hak nyawa, hak rohani, hak kesadaran, hak untuk tentram, hak untuk memberi, hak untuk menerima, hak untuk dilindungi dan melindungi dan sebagainya.
Fungsi hukum untuk memberikan perlindungan yaitu terhadap kepentingan manusia (seluruh manusia tanpa terkecuali). Oleh karena itu maka hukum harus dilaksanakan agar kepentingan manusia tersebut dapat terlindungi. Pada dasarnya suatu hukum yang baik adalah hukum yang mampu menampung dan membagi keadilan pada orang-orang yang akan diaturnya. Hukum mempunyai fungsi untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan manusia (seluruh manusia tanpa terkecuali). Oleh karena itu hukum harus dilaksanakan agar kepentingan manusia tersebut dapat terlindungi. Dalam pelaksanaannya, hukum dapat berlangsung secara normal dan damai, akan tetapi dapat juga terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum dalam prakteknya. Hukum yang dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah hukum ini menjadi kenyataan. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan: Kepastian hukum (Rechtssicherheit), Kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan Keadilan (Gerechtigkeit).
            Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa konkrit. Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku “fiat justitia et pereat mundus” (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum. Karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Sebaliknya masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum, keadilan diperhatikan. Dalam pelaksanaan atau penegakan hukum harus adil.
            Dalam kehidupan bermasyarakat diperlukan suatu sistem hukum untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang harmonis dan teratur. Kenyataannya hukum atau peraturan perundang-undangan yang dibuat tidak mencakup seluruh perkara yang timbul dalam masyarakat sehingga menyulitkan penegak hukum untuk menyelesaikan perkara tersebut.         Dalam usaha menyelesaikan suatu perkara ada kalanya hakim menghadapi masalah belum adanya peraturan perundang-undangan yang dapat langsung digunakan untuk menyelesaikan perkara yang bersangkutan, walaupun semua metode penafsiran telah digunakan. 
Penemuan hukum bukanlah merupakan ilmu baru, tetapi telah lama dikenal dan dipraktekkan selama ini oleh hakim, pembentuk  undang-undang dan para sarjana hukum yang tugasnya memecahkan masalah-masalah hukum. Dalam literatur Belanda telah banyak ditulis orang mengenai penemuan hukum (rechtsvinding) ini. Tidak jarang sementara sarjana hukum melakukan penemuan hukum secara reflektif atau tanpa disadari.[1]
 Pada hakekatnya penemuan hukum mewujudkan pengembanan hukum secara ilmiah dan secara praktikal. Penemuan hukum sebagai sebuah reaksi terhadap situasi-situasi problematikal yang dipaparkan orang dalam peristilahan hukum berkenaan dengan pertanyaan-pertanyaan hukum (rechtsvragen), konflik-konflik hukum atau sengketa-sengketa hukum. Penemuan hukum diarahkan pada pemberian jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang hukum dan hal pencarian penyelesaian-penyelesaian terhadap sengketa-sengketa konkret. Terkait padanya antara lain diajukan pertanyaan-pertanyaan tentang penjelasan (tafsiran) dan penerapan aturan-aturan hukum, dan pertanyaan-pertanyaan tentang makna dari fakta-fakta yang terhadapnya hukum harus diterapkan. Penemuan hukum berkenaan dengan hal menemukan penyelesaian-penyelesaian dan jawaban-jawaban berdasarkan kaidah-kaidah hukum.
            Dalam dunia yang modern dan global dewasa ini, ditandai dengan semakin maju pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Globalisasi merupakan konsekuensi logis dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut. Sebenarnya proses globalisasi itu berasal dari negara-negara barat (Eropa dan Amerika khususnya) yang kemudian ditularkan ke negara-negara lain di seantero jagad raya ini melalui dunia perdagangan, budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi.
            Sebagai negara berkembang (developing country), Indonesia bersama dengan negara-negara yang termasuk kedalam kelompok negara dunia ketiga tidak dapat menghindar dari globalisasi . Arus masuk berupa ilmu pengetahuan dan teknologi ke negara Indonesia bukanlah merupakan sesuatu hal untuk dihindari, melainkan telah menjadi kebutuhan suatu bangsa untuk mencapai suatu kemajuan.
            Teknologi informasi telah membuka mata dunia akan sebuah dunia baru, interaksi baru, market place baru, dan sebuah jaringan bisnis dunia yang tanpa batas. Peran teknologi informasi dalam masyarakat komunikatif sekarang ini semakin memainkan peran penting. Dalam banyak hal kehidupan manusia memperlihatkan ketergantungannya pada teknologi informasi ini, seperti berbagai mesin dalam dunia usaha dan industri yang siap menggantikan tenaga manusia, internet yang memiliki banyak keunggulan dalam berusaha telah menawarkan alternatif kepada pelaku usaha dan konsumen serta kemajuan lainnya. Disadari betul bahwa perkembangan teknologi yang disebut internet, telah mengubah pola interaksi masyarakat, yaitu: interaksi bisnis, ekonomi, sosial, dan budaya. Internet telah memberikan kontribusi yang demikian besar bagi masyarakat, perusahaan / industri maupun pemerintah. [2]
            Salah satu fasilitas yang ada dalam internet adalah blog. Blog atau web blog sejak pertama kali diperkenalkan oleh Jorn Barger tahun 1998. Saat ini pribadi-pribadi pemilik weblog bukan lagi menjadikan blog sebagai jurnal harian atau dokumen karya tulisnya, tetapi para penulis blog sudah mulai menjadikan blog sebagai media informasi publik yang gratis dan independent, serta mungkin selanjutnya diharapkan menjadi media informasi yang cepat, tepat dan akurat.
            Untuk menuju tersedianya informasi publik yang independent, cepat, akurat dan dapat dipercaya. Seiring dengan hal tersebut keberadaan blog tidak hanya sebatas penyaluran informasi belaka tetapi mampu menjadi social control sebagaimana peran media masa selama ini. Tulisan-tulisan yang bersifat kritik terhadap pemangku jabatan publik hendaknya jangan dijadikan sebagai bentuk penghinaan ataupun pencemaran nama baik yang berimplikasi pada hukum. Terkecuali tulisan - tulisan yang berbau SARA yang bisa membangkitkan kebencian dan kemarahan.
            Salah satu kasus mengenai blog/ web blog atau surat elektronik yang kemarin cukup marak yaitu kasus mengenai Prita Mulyasari. Pada awalnya Prita menulis tentang kekecewaannya terhadap Rumah Sakit tempatnya dirawat, blog pribadi tersebut dikirimkan hanya kepada 10 (sepuluh) orang teman dekat saja, akan tetapi blog tersebut kemudian menyebar luas di kalangan pengguna internet, yang pada akhirnya Prita dituntut oleh Rumah Sakit tersebut dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Berikut adalah tulisan yang di tulis oleh Prita di dalam blog pribadinya:

Gaya Penipuan OMNI International Hospital Alam Sutera Tangerang

Saya tidak mengatakan semua RS International seperti ini tapi saya mengalami kejadian ini di RS Omni International.
Tepatnya tanggal 7 Agustus 2008 jam 20.30 WIB, saya dengan kondisi panas tinggi dan pusing kepala, datang ke RS. OMNI Intl dengan percaya bahwa RS tersebut berstandard International, yang tentunya pasti mempunyai ahli kedokteran dan manajemen yang bagus.
Saya diminta ke UGD dan mulai diperiksa suhu badan saya dan hasilnya 39 derajat. Setelah itu dilakukan pemeriksaan darah dan hasilnya adalah thrombosit saya 27.000 dengan kondisi normalnya adalah 200.000, saya diinformasikan dan ditangani oleh dr. Indah (umum) dan dinyatakan saya wajib rawat inap. Dr. Indah melakukan pemeriksaan lab ulang dengan sample darah saya yang sama dan hasilnya dinyatakan masih sama yaitu thrombosit 27.000. Dr. Indah menanyakan dokter specialist mana yang akan saya gunakan tapi saya meminta referensi darinya karena saya sama sekali buta dengan RS ini. Lalu referensi dr. Indah adalah dr. Henky. Dr. Henky memeriksa kondisi saya dan saya menanyakan saya sakit apa dan dijelaskan bahwa ini sudah positif demam berdarah.
Mulai malam itu saya diinfus dan diberi suntikan tanpa penjelasan atau ijin pasien atau keluarga pasien suntikan tersebut untuk apa. Keesokan pagi, dr Henky visit saya dan menginformasikan bahwa ada revisi hasil lab semalam bukan 27.000 tapi 181.000 (hasil lab bisa dilakukan revisi?), saya kaget tapi dr. Henky terus memberikan instruksi ke suster perawat supaya diberikan berbagai macam suntikan yang saya tidak tahu dan tanpa ijin pasien atau keluarga pasien. Saya tanya kembali jadi saya sakit apa sebenarnya dan tetap masih sama dengan jawaban semalam bahwa saya kena demam berdarah. Saya sangat kuatir karena dirumah saya memiliki 2 anak yang masih batita jadi saya lebih memilih berpikir positif tentang RS dan dokter ini supaya saya cepat sembuh dan saya percaya saya ditangani oleh dokter profesional standard Internatonal.
Mulai Jumat tersebut saya diberikan berbagai macam suntikan yang setiap suntik tidak ada keterangan apapun dari suster perawat, dan setiap saya meminta keterangan tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan, lebih terkesan suster hanya menjalankan perintah dokter dan pasien harus menerimanya. Satu box lemari pasien penuh dengan infus dan suntikan disertai banyak ampul.
Tangan kiri saya mulai membengkak, saya minta dihentikan infus dan suntikan dan minta ketemu dengan dr. Henky namun dokter tidak datang sampai saya dipindahkan ke ruangan. Lama kelamaan suhu badan saya makin naik kembali ke 39 derajat dan datang dokter pengganti yang saya juga tidak tahu dokter apa, setelah dicek dokter tersebut hanya mengatakan akan menunggu dr. Henky saja.
Esoknya dr. Henky datang sore hari dengan hanya menjelaskan ke suster untuk memberikan obat berupa suntikan lagi, saya tanyakan ke dokter tersebut saya sakit apa sebenarnya dan dijelaskan saya kena virus udara. Saya tanyakan berarti bukan kena demam berdarah tapi dr. Henky tetap menjelaskan bahwa demam berdarah tetap virus udara. Saya dipasangkan kembali infus sebelah kanan dan kembali diberikan suntikan yang sakit sekali.
Malamnya saya diberikan suntikan 2 ampul sekaligus dan saya terserang sesak napas selama 15 menit dan diberikan oxygen. Dokter jaga datang namun hanya berkata menunggu dr. Henky saja. Jadi malam itu saya masih dalam kondisi infus padahal tangan kanan saya pun mengalami pembengkakan seperti tangan kiri saya.
Saya minta dengan paksa untuk diberhentikan infusnya dan menolak dilakukan suntikan dan obat-obatan.
Esoknya saya dan keluarga menuntut dr. Henky untuk ketemu dengan kami namun janji selalu diulur-ulur dan baru datang malam hari. Suami dan kakak-kakak saya menuntut penjelasan dr. Henky mengenai sakit saya, suntikan, hasil lab awal yang 27.000 menjadi revisi 181.000 dan serangan sesak napas yang dalam riwayat hidup saya belum pernah terjadi.
Kondisi saya makin parah dengan membengkaknya leher kiri dan mata kiri saya.
Dr, Henky tidak memberikan penjelasan dengan memuaskan, dokter tersebut malah mulai memberikan instruksi ke suster untuk diberikan obat-obatan kembali dan menyuruh tidak digunakan infus kembali. Kami berdebat mengenai kondisi saya dan meminta dr. Henky bertanggung jawab mengenai ini dari hasil lab yang pertama yang seharusnya saya bisa rawat jalan saja. Dr. Henky menyalahkan bagian lab dan tidak bisa memberikan keterangan yang memuaskan.
Keesokannya kondisi saya makin parah dengan leher kanan saya juga mulai membengkak dan panas kembali menjadi 39 derajat namun saya tetap tidak mau dirawat di RS ini lagi dan mau pindah ke RS lain. Tapi saya membutuhkan data medis yang lengkap dan lagi-lagi saya dipermainkan dengan diberikan data medis yang fiktif.
Dalam catatan medis, diberikan keterangan bahwa BAB saya lancar padahal itu kesulitan saya semenjak dirawat di RS ini tapi tidak ada follow upnya samasekali. Lalu hasil lab yang diberikan adalah hasil thrombosit saya yang 181.000 bukan 27.000.
Saya ngotot untuk diberikan data medis hasil lab 27.000 namun sangat dikagetkan bahwa hasil lab 27.000 tersebut tidak dicetak dan yang tercetak adalah 181.000, kepala lab saat itu adalah dr. Mimi dan setelah saya complaint dan marah-marah, dokter tersebut mengatakan bahwa catatan hasil lab 27.000 tersebut ada di Manajemen Omni maka saya desak untuk bertemu langsung dengan Manajemen yang memegang hasil lab tersebut.
Saya mengajukan complaint tertulis ke Manajemen Omni dan diterima oleh Ogi (customer service coordinator) dan saya minta tanda terima. Dalam tanda terima tersebut hanya ditulis saran bukan complaint, saya benar-benar dipermainkan oleh Manajemen Omni dengan staff Ogi yang tidak ada service nya sama sekali ke customer melainkan seperti mencemooh tindakan saya meminta tanda terima pengajuan complaint tertulis.
Dalam kondisi sakit, saya dan suami saya ketemu dengan Manajemen, atas nama Ogi (customer service coordinator) dan dr. Grace (customer service manager) dan diminta memberikan keterangan kembali mengenai kejadian yang terjadi dengan saya. Saya benar-benar habis kesabaran dan saya hanya meminta surat pernyataan dari lab RS ini mengenai hasil lab awal saya adalah 27.000 bukan 181.000 makanya saya diwajibkan masuk ke RS ini padahal dengan kondisi thrombosit 181.000 saya masih bisa rawat jalan.
Tanggapan dr. Grace yang katanya adalah penanggung jawab masalah complaint saya ini tidak profesional samasekali. Tidak menanggapi complaint dengan baik, dia mengelak bahwa lab telah memberikan hasil lab 27.000 sesuai dr. Mimi informasikan ke saya. Saya minta duduk bareng antara lab, Manajemen dan dr. Henky namun tidak bisa dilakukan dengan alasan akan dirundingkan ke atas (Manajemen) dan berjanji akan memberikan surat tersebut jam 4 sore.
Setelah itu saya ke RS lain dan masuk ke perawatan dalam kondisi saya dimasukkan dalam ruangan isolasi karena virus saya ini menular, menurut analisa ini adalah sakitnya anak-anak yaitu sakit gondongan namun sudah parah karena sudah membengkak, kalau kena orang dewasa yang ke laki-laki bisa terjadi impoten dan perempuan ke pankreas dan kista. Saya lemas mendengarnya dan benar-benar marah dengan RS Omni yang telah membohongi saya dengan analisa sakit demam berdarah dan sudah diberikan suntikan macam-macam dengan dosis tinggi sehingga mengalami sesak napas. Saya tanyakan mengenai suntikan tersebut ke RS yang baru ini dan memang saya tidak kuat dengan suntikan dosis tinggi sehingga terjadi sesak napas.
Suami saya datang kembali ke RS Omni menagih surat hasil lab 27.000 tersebut namun malah dihadapkan ke perundingan yang tidak jelas dan meminta diberikan waktu besok pagi datang langsung ke rumah saya. Keesokan paginya saya tunggu kabar orang rumah sampai jam 12 siang belum ada orang yang datang dari Omni memberikan surat tersebut. Saya telepon dr. Grace sebagai penanggung jawab compaint dan diberikan keterangan bahwa kurirnya baru mau jalan ke rumah saya namun sampai jam 4 sore saya tunggu dan ternyata belum ada juga yang datang kerumah saya. Kembali saya telepon dr. Grace dan dia mengatakan bahwa sudah dikirim dan ada tanda terima atas nama Rukiah, ini benar-benar kebohongan RS yang keterlaluan sekali, dirumah saya tidak ada nama Rukiah, saya minta disebutkan alamat jelas saya dan mencari datanya sulit sekali dan membutuhkan waktu yang lama. Logikanya dalam tanda terima tentunya ada alamat jelas surat tertujunya kemana kan? makanya saya sebut Manajemen Omni PEMBOHONG BESAR semua. Hati-hati dengan permainan mereka yang mempermainkan nyawa orang. Terutama dr. Grace dan Ogi, tidak ada sopan santun dan etika mengenai pelayanan customer, tidak sesuai dengan standard International yang RS ini
cantum.
Saya bilang ke dr. Grace, akan datang ke Omni untuk mengambil surat tersebut dan ketika suami saya datang ke Omni hanya dititipkan ke resepsionis saja dan pas dibaca isi suratnya sungguh membuat sakit hati kami, pihak manajemen hanya menyebutkan mohon maaf atas ketidaknyamanan kami dan tidak disebutkan mengenai kesalahan lab awal yang menyebutkan 27.000 dan dilakukan revisi 181 000 dan diberikan suntikan yang mengakibatkan kondisi kesehatan makin memburuk dari sebelum masuk ke RS Omni.
Kenapa saya dan suami saya ngotot dengan surat tersebut? karena saya ingin tahu bahwa sebenarnya hasil lab 27.000 itu benar ada atau fiktif saja supaya RS Omni mendapatkan pasien rawat inap. Dan setelah beberapa kali kami ditipu dengan janji maka sebenarnya adalah hasil lab saya 27.000 adalah FIKTIF dan yang sebenarnya saya tidak perlu rawat inap dan tidak perlu ada suntikan dan sesak napas dan kesehatan saya tidak makin parah karena bisa langsung tertangani dengan baik.
Saya dirugikan secara kesehatan, mungkin dikarenakan biaya RS ini dengan asuransi makanya RS ini seenaknya mengambil limit asuransi saya semaksimal mungkin tapi RS ini tidak memperdulikan efek dari keserakahan ini.
Ogi menyarankan saya bertemu dengan direktur operasional RS Omni (dr. Bina) namun saya dan suami saya terlalu lelah mengikuti permainan kebohongan mereka dengan kondisi saya masih sakit dan dirawat di RS lain.
Syukur Alhamdulilah saya mulai membaik namun ada kondisi mata saya yang selaput atasnya robek dan terkena virus sehingga penglihatan saya tidak jelas dan apabila terkena sinar saya tidak tahan dan ini membutuhkan waktu yang cukup untuk menyembuhkan.
Setiap kehidupan manusia pasti ada jalan hidup dan nasibnya masing-masing, benar…. tapi apabila nyawa manusia dipermainkan oleh sebuah RS yang dipercaya untuk menyembuhkan malah mempermainkan sungguh mengecewakan, semoga Allah memberikan hati nurani ke Manajemen dan dokter RS Omni supaya diingatkan kembali bahwa mereka juga punya keluarga, anak, orang tua yang tentunya suatu saat juga sakit dan membutuhkan medis, mudah-mudahan tidak terjadi seperti yang saya alami di RS Omni ini.
Saya sangat mengharapkan mudah-mudahan salah satu pembaca adalah karyawan atau dokter atau Manajemen RS Omni, tolong sampaikan ke dr. Grace, dr. Henky dr. Mimi dan Ogi bahwa jangan sampai pekerjaan mulia kalian sia-sia hanya demi perusahaan Anda.
Saya informasikan juga dr. Henky praktek di RSCM juga, saya tidak mengatakan RSCM buruk tapi lebih hati-hati dengan perawatan medis dari dokter ini.
salam,
Prita Mulyasari

            Pencemaran nama baik dalam KUHP diistilahkan sebagai penghinaan/penistaan terhadap seseorang, terdapat dalam Bab XVI, Buku I KUHP khususnya pada Pasal 310, Pasal 311, Pasal 315, Pasal 317 dan Pasal 318 KUHP. Pasal Pidana terhadap perbuatan penghinaan terhadap seseorang, secara umum diatur dalam Pasal 310, Pasal 311 ayat (1), Pasal 315, Pasal 317 ayat (1) dan Pasal 318 ayat (1) KUHP.
            Pemberlakuan pasal fitnah, penghinaan dan pencemaran nama baik dengan lisan atau tulisan pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP, sering disorot tajam oleh para praktisi hukum dan praktisi jurnalistik. Aturan itu, dinilai banyak menghambat kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat di masyarakat, terlebih lagi dianggap dapat menghambat kerja khususnya bagi wartawan dalam menyampaikan informasi kepada publik. Sementara dalam pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Dalam pasal yang sama, kontitusi negara menjamin kemerdekaan setiap orang untuk menyebarluaskan dan memperoleh informasi serta berkomunikasi melalui segala jenis saluran yang tersedia.      Jadi, penerapan aturan pasal tentang pencemaran nama baik itu dinilai bertentangan dengan konstitusi negara.
Sampai kini belum ada definisi hukum di Indonesia yang tepat tentang apa yang disebut pencemaran nama baik. Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penulisan hukum dengan mengambil judul:
ANALISIS YURIDIS TENTANG PENCEMARAN NAMA BAIK DIKAITKAN DENGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DAN UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI TEKNOLOGI DALAM KASUS SURAT ELEKTRONIK PRITA MULYASARI
Penulis merasa perlu untuk mengangkat permasalahan ini karena untuk mengetahui sejauh mana batasan atau kategori seseorang melakukan pencemaran nama baik itu sendiri, lalu bagaimana keputusan hakim mengenai kasus ini.  Kami menyebut sebagai Penemuan Hukum karena Undang-undang yang mengatur mengenai hal tersebut tidak jelas.

  1. PERMASALAHAN
            Dalam KUHP pencemaran nama baik diistilahkan sebagai penghinaan/penistaan terhadap seseorang, terdapat dalam Bab XVI, Buku I KUHP khususnya pada Pasal 310, Pasal 311, Pasal 315, Pasal 317 dan Pasal 318 KUHP. Pasal Pidana terhadap perbuatan penghinaan terhadap seseorang, secara umum diatur dalam Pasal 310, Pasal 311 ayat (1), Pasal 315, Pasal 317 ayat (1) dan Pasal 318 ayat (1) KUHP. Sementara dalam pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Bahwa, kontitusi negara menjamin kemerdekaan setiap orang untuk menyebarluaskan dan memperoleh informasi serta berkomunikasi melalui segala jenis saluran yang tersedia. Jadi, penerapan aturan tentang pencemaran nama baik itu dinilai bertentangan dengan konstitusi negara.
            Dalam surat elektronik yang ditulis oleh Prita Mulyasari dalam blog pribadinya, penulis mengambil beberapa masalah yang akan diangkat yaitu:
  1. Apakah yang dimaksud dengan pencemaran nama baik dan sejauh mana suatu perbuatan itu dapat dikategorikan sebagai suatu perbuatan pencemaran nama baik?
  2. Bagaimana keputusan hakim dalam kasus Prita Mulyasari ini?


 
BAB II
TEORI DAN PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN
  1. Pengertian Penemuan Hukum
Penemuan hukum merupakan salah satu wadah yang dapat digunakan oleh hakim untuk mengisi kekosongan hukum, atau menafsirkan suatu kaidah peraturan perundang-undangan yang tidak atau kurang jelas. Semakin dinamisnya kehidupan masyarakat menyebabkan kaidah hukum selalu tertinggal, sehingga hakim dituntut menghidupkannya seiring dengan perubahan dan rasa keadilan masyarakat.[3]
a.      Pengertian dalam arti sempit, adalah jika peraturannya sudah ada dan sudah jelas, dimana hakim tinggal menerapkan saja (ahcmad Ali, 1988:81). Dalam penerapannya, hakim tetap dianggap melakukan penemuan, yaitu menemukan kecocokan antara maksud atau bunyi peraturan perundang-undangan dengan kualifikasi antara maksud atau bunyi peraturan undang-undang dengan kualifikasi peristiwa atau kasus konkretnya.[4]
      Sudikno Mertokusumo memberikan gambaran tentang penemuan hukum dalam arti sempit sebagai penemuan hukum terutama dilakukan oleh hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara. Pandangan Sudikno ini menunjukan bahwa kendati yang dihasilkan oleh ilmuan hukum itu bukanlah hukum karena ia hanyalah doktrin, tetap dianggap sebagai penemuan hukum dalam arti sempit. Doktrin yang dijadikan pertimbangan atau diikuti oleh hakim dalam putusannya, menjadi hukum, kendati doktrin itu sendiri hanya merupakan sumber hukum.
b.      Pengertian dalam arti luas, posisi hakim bukan lagi sekedar menerapkan peraturan hukum yang sudah jelas dengan menyocokkannya pada kasus yang ditandatangani, melainkan sudah lebih luas. Hakim dalam membuat  putusan, sudah memperluas makna suatu ketentuan undang-undang yang dibagi atas konstruksi hukum dan interpretasi hukum.[5]

Pendapat pakar hukum:
a.       Van Eikema Hommes menyatakan bahwa penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa konkret. Ini merupakan proses konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkrit.
b.      Paul Scholten menyatakan bahwa penemuan hukum adalah sesuatu yang lain dari pada hanya penerapan peraturan-peraturan pada peristiwanya. Kadang-kadang dan bahkan sangat sering terjadi bahwa peraturannya harus ditemukan baik dengan jalan interpretasi maupun dengan jalan analogi atau rechtvervijning.
Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH,  bahwa yang dimaksud dengan penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim, atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum konkrit, atau disebut juga dengan proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (Das Sollen) yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkrit (Das Sein) tertentu. Jadi intinya adalah bagaimana hakim mencarikan dan menemukan hukumnya untuk suatu peristiwa yang konkrit.

1.1  Penyebab Terjadinya Penemuan Hukum
Penemuan Hukum terjadi karena tidak adanya Undang-undang atau Peraturan-peraturan yang mengatur suatu  peristiwa hukum atau Undang-undang-Undangnya ada, tetapi tidak sempurna atau tidak lengkap, sehingga hakim dalam mengambil suatu keputusan, harus melakukan penemuan hukum (Rechtsvinding), dan hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara dengan alasan tidak ada Peraturan-peraturan atau Undang-Undang yang mengaturnya atau ada Undang-undang yang mengaturnya tetapi tidak sempurna. Hal ini dapat kita lihat dari Pasal 22 AB Juncto Pasal 14 Undang-Undang Nomor 14 Tahun  1970, yang menyatakan bahwa Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan alasan bahwa hukumnya tida ada atau tidak jelas dan hakim wajib memeriksa dan menjatuhkan putusan. Disamping itu dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu bahwa hakim sebagai penegak hukum dan Keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat. Maksud dari Pasal tersebut adalah bahwa hukum itu ada, tetapi masih harus dicari, diketemukan dan kemudian diciptakan.   
1.2                 Unsur Penemuan Hukum
a.        Unsur Heteronom
Merupakan unsur dalam penemuan hukum dimana hakim dalam Memeriksa dan memutus perkaranya berdasarkan kepada Undang-undang atau terikat kepada Undang-Undang. Hakim berpikir secara Deduktif, yaitu dari peristiwa hukum yang bersifat umum (berdasarkan Undang-undang)  ke peristiwa hukum yang bersifat khusus (peristiwa konkrit), sampai akhirnya hakim menjatuhkan putusan.
Contoh : di negara-negara Eropa Kontinental misalnya Belanda, Perancis dan Indonesia.
b.       Unsur Otonom
Merupakan unsur dalam penemuan hukum dimana hakim dalam memeriksa dan memutus perkaranya berdasarkan hati nurani atau keyakinannya dan tidak terikat kepada Undang-undang. Hakim berpikir secara induktif, yaitu dari peristiwa hukum yang bersifat khusus (putusan hakim terdahulu)  ke peristiwa hukum yang bersifat umum (peristiwa konkrit yang dihadapinya), sampai akhirnya hakim menjatuhkan putusan. Contoh : di negara-negara Anglo Saxon, yang Amerika dan Inggris.
Kedua unsur tersebut dalam perkembangannya telah mengalami perubahan yaitu tidak lagi murni unsur heteronom atau otonom tetapi juga bisa merupakan  gabungan dari kedua unsur tersebut, yang saling  mempengaruhi satu sama lain dan ini tergantung dari kasus atau perkara yang dihadapi oleh hakim.

1.2         Sumber Penemuan Hukum
Sumber penemuan hukum adalah sumber atau tempat bagi hakim dalam menemukan hukumnya. Sumber penemuan hukum meliputi :[6]
a.                   Peraturan Perundang-Undangan.
Peraturan Perundang-Undangan merupakan sumber penemuan hukum yang utama karena undang-undang bersifat otentik dan berbentuk tertulis, sehingga menjamin kepastian hukum. Undang-undang dan hukum tidaklah identik (sama), karena Undang-undang merupakan bentuk salah satu bentuk hukum atau peraturan yang tertulis, sedangkan hukum adalah peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang bertujuan untuk mewujudkan ketertiban dan keadilan dalam suatu masyarakat. Undang-undang tidak boleh ditafsirkan bertentangan dengan undang-undang itu sendiri (conta legem), sehingga dalam membaca Undang-undang tidak cukup dengan membacanya saja, tetapi juga harus dibaca penjelasan dan konsideransnya serta mencari makna dan tujuannya.
b.                  Kebiasaan.
Adalah hukum yang tidak tertulis dan merupakan perilaku yang diulang-ulang. Untuk menemukannya harus dengan cara bertanya kepada warga atau masyarakat setempat.Pada umumnya kebiasaan hanya sebagai pelengkap Undang-Undang, sebagaimana tercantum dalam Pasal 15 AB.
c.                    Yurisprudensi
  - Yurisprudensi dapat berarti setiap putusan hakim
  - Yurisprudensi dapat pula berarti kumpulan putusan hakim yang disusun secara sistematis dari tingkat peradilan pertama sampai pada tingkat kakasi dan yang pada umumnya diberi annotetie oleh pakar di bidang peradilan
 - Yurisprudenasi dapat diartikan pandangan atau pendapat para ahli yang dianut   oleh hakim dan dituangkan dalam putusannya.

1.3  Dasar Penemuan Hukum di Indonesia
Secara umum, dasar penemuan hukum di indonesia selain karena adanya asas universal, juga tersirat dalam perundang-undangan, sebagai berikut :[7]
a.       Asas curia novit, yaitu ”hakim dianggap mengetahui hukum”, sehingga hakim tidak boleh menolak suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan peraturannya kurang jelas atau tidak ada peraturannya. Suatu peristiwa atau perkara hukum yang kemungkinan belum ada ketentuannya, atau peraturannya ada tetapi kurang jelas, hakim tetap wajib memeriksa perkara peraturan tersebut sekaligus memutuskannya.
b.      Pasal 27 ayat (1) UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, mengatur bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Ketentuan ini menuntut hakim, agar dalam menjatuhkan putusannya wajib memperhatikan dan memaknai nilai-nilai hukum, seperti perasaan hukum dan kesadaran hukum masyarakat dalam menjatuhkan putusan.
c.       Untuk mengisi kekosongan perundang-undangan atau hukum tertulis. Untuk itu, suatu perkara yang tidak ada peraturannya, hakim tetap wajib memeriksa dan memutus perkara tersebut dengan menggunakan metode analogi terhadap suatu peraturan yang mirip dengan perkara yang diperiksa (khusus dalam perkara perdata, sedangkan dalam perkara pidana tidak dibenarkan menggunakan metode analogi).
Dasar dan alasan pemikiran untuk melakukan penemuan hukum oleh hakim adalah sebagai berikut :[8]
1)      Karena peraturan tidak ada, tetapi esensi perkara sama atau mirip dengan suatu peraturan lain yang dapat diterapkan pada kasus tersebut.
2)      Peraturannya memang ada, tetapi kurang jelas sehingga hakim perlu menafsirkan peraturan tersebut untuk diterapkan pada perkara yang ditangani.
3)      Peraturan juga ada, tetapi peraturan itu sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi dan kebutuhan warga masyarakat, sehingga hakim wajib menyesuaikannya dengan perkara yang sedang ditangani.

1.4  Metode Penemuan Hukum
Metode penemuan hukum oleh hakim dapat dilakukan dengan dua bentuk, sebagai berikut :[9]
1.                  Interpretasi hukum, yaitu penafsiran perkataan dalam undang-undang tetapi tetap berpegang pada kata-kata/bunyi peraturannya.
Metode interpretasi atau penafsiran hukum digunakan karena apabila suatu peristiwa konkrit tidak secara jelas dan tegas dianut dalam suatu peraturan perundang-undangan. Berbagai jenis metode interpretasi disiapkan dalam teori hukum, sehingga hakim bebas memilih mana yang paling cocok dengan peristiwa yang sedang ditanganinya. Jenis-jenis metode penemuan hukum melalui interpretasi hukum adalah sebagai berikut :
a.       Interpretasi Subsumptif, yaitu hakim menerapkan teks atau kata-kata suatu ketentuan undang-undang terhadap kasus in-konkreto (fakta kasus) tanpa menggunakan penalaran sama sekali dan hanya sekedar menerapkan silogisme dari ketentuan tersebut. Disini hakim hanya menerapkan ketentuan pasal undang-undang, yaitu mencocokkan fakta kasus dengan ketentuan undnag-undang yang dilanggar.
b.      Interpretasi Gramatikal, yaitu menafsirkan kata-kata yang ada dalam undang-undang sesuai dengan kaidah tata bahasa. Teks atau kata-kata dari suatu peraturan perundang-undangan dicari maknanya yang oleh pembentuk undang-undang digunakan sebagai simbol terhadap suatu peristiwa. Misalnya, ketentuan pasal 101 KUHPidana tentang hewan, yaitu binatang ternak yang dipelihara.
c.       Interpretasi Ekstensif, yaitu penafsiran yang lebih luas dari pada penafsiran gramatikal, karena memperluas makna dari ketentuan khusus menjadi ketentuan umum sesuai dengan kaidah dan tata bahasanya. Disini hakim menafsirkan kaidah tata bahasanya karena maksus dan tujuannya kurang jelas atau terlalu abstrak agar menjadi jelas dan konkrit, perlu diperluar maknanya. Misalnya, kata “pencurian barang” dalam Pasal 362 KUHPidana, diperluas esensi maknanya terhadap “aliran listrik” sebagai benda yang tidak berwujud.
d.      Interpretasi Sistematis, yaitu menafsirkan Undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem peraturan perundang-undangan. Misalnya, suatu peristiwa hukum yang tidak ada ketentuannya dalam undang-undang, maka hakim harus mencari ketentuan lain yang sesuai atau mirip dengan peristiwa konkrit yang ditangani.
e.       Interpretasi Sosiologis atau Teologis, yaitu menafsirkan makna atau substansi undang-undang untuk diselaraskan dengan kebutuhan atau kepentingan warga masyarakat. Substansi yang ditekankan pada metode ini terletak pada tujuan kemasyaakatan, sehingga suatu peraturan perundang-undangan yang sudah tidak sesuai lagi dengan dinamika masyarakat dapat diabaikan oleh hakim, atau ketentuan itu membahayakan kehidupan masyarakat secara luas.
f.       Interpretasi Historis, dibagi atas dua jenis, yaitu sebagai berikut :
1)        Penafsiran menurut sejarah undang-undang, mencari maksud dari pembuatan undang-undang saat diundangkannya sebagai ukuran dalam menafsirkan suatu peristiwa hukum, dari sumbernya dilihay pada catatan pembahasannya di DPR.
2)        Penafsiran menurut sejarah hukum, mencari makna yang terkandung dari sejarah perkembangan hukum, seperti apa tujuan hukum sehingga korupsi dilarang.
g.      Interpretasi Komparatif, yaitu membandingkan antara berbagai sistem hukum yang ada di dunia, sehingga bisa mengambil putusan yang sesuai dengan perkara yang ditanganinya. Metode ini banyak digunakan dalam perjanjian internasional.
h.      Interpretasi Restriktif, yaitu penafsiran yang sifatnya membatasi suatu ketentuan undang-undang terhadap peristiwa konkrit. Disni hakim membatasi perluasan berlakunya suatu undang-undang terhadap peristiwa tertentu untuk melindungi kepentingan umum.
i.        Interpretasi Futuristis, yaitu menjelaskan suatu undang-undang yang berlaku sekarang (ius constitutum) dengan berpedoman pada undang-undang yang akan diberlakukan (ius constituandum).

2.            Konstruksi hukum, yaitu penalaran logis untuk mengembangkan suatu ketentuan dalam undang-undang yang tidak lagi berpegang pada kata-katanya, tetapi tetap harus memperhatikan hukum sebagaimana mestinya. Adapun jenis-jenis konstruksi hukum adalah sebagai berikut :
a.       Analogi atau Argumentum Per-analogian, yaitu penemuan hukum yang mencari esensi dari species ke genius, atau dari suatu peristiwa khusus ke peraturan yang bersifat umum. Inti dari penemuan hukum ini adalah mempersamakan dengan cara memperluas makna atau eksistensi suatu ketentuan undang-undang yang khusus menjadi ketentuan umum, dan tidak lagi berpegang pada bunyi ketentuannya, tetapi tetap menyatu dalam sistem hukum
b.      Argumentum a’Contrario, yaitu penalaran terhadap suatu ketentuan undang-undang pada peristiwa hukum tertentu, sehingga secara a’Contrario ketentuan tersebut tidak boleh diberlakukan pada hal-hal atau kebalikannya.
c.       Rechtsvijnings (pengkonkretan hukum, tetapi ada juga yang mengartikannya penyempitan atau penghalusan hukum), yaitu mengkonkretkan suatu ketentuan dalam undang-undang yang abstrak atau keterlaluan luas cakupannya sehingga perlu dikonkretkan oleh hakim.
d.      Fiksi Hukum (fictie), yaitu penemuan hukum dengan menggambarkan suatu peristiwa kemudian menganggap ada, sehingga peristiwa tersebut menjadi suatu fakta baru. Konsekuensi dari penggunaan fiksi hukum karena adanya asas in dubio proreo bahwa setiap orang dianggap mengetahui hukum, sehingga seorang yang melanggar suatu ketentuan hukum tidak boleh beralasan bahwa ketentuan hukum itu tidak diketahuinya. Artinya, apabila suatu peraturan perundang-undangan telah diberlakukan, maka dianggap (difiksikan) bahwa semua orang telah mengetahuinya.


B.       PEMBAHASAN

1.        Pengertian Pencemaran Nama Baik dan Kategori Perbuatan Pencemaran Nama Baik
 Sampai kini belum ada definisi hukum di Indonesia yang tepat tentang apa yang disebut pencemaran nama baik. Menurut frase (bahasa Inggris), pencemaran nama baik diartikan sebagai defamation, slander, libel yang dalam bahasa Indonesia (Indonesian translation) diterjemahkan menjadi pencemaran nama baik, fitnah (lisan), fitnah (tertulis). Slander adalah oral defamation (fitnah secara lisan) sedangkan Libel adalah written defamation (fitnah secara tertulis). Dalam bahasa Indonesia belum ada istilah untuk membedakan antara slander dan libel.

1.1    Pencemaran Nama Baik Menurut Peraturan Perundang-undangan di Indonesia

Meskipun masih dalam perdebatan, ketentuan-ketentuan tentang penghinaan yang terdapat dalam Bab XVI, Buku II KUHP masih relevan. Penghinaan atau defamation secara harfiah diartikan sebagai sebuah tindakan yang merugikan nama baik dan kehormatan seseorang. Perkembangan awal pengaturannya telah dikenal sejak 500 SM pada rumusan “twelve tables” di era Romawi kuno. Akan tetapi, ketentuan ini seringkali digunakan sebagai alat pengukuhan kekuasaan otoritarian dengan hukuman-hukuman yang sangat kejam. Hingga, pada era Kekaisaran Agustinus (63 SM) peradilan kasus defamation (lebih sering disebut libelli famosi) terus meningkat secara signifikan, dan secara turun-temurun diwariskan pada beberapa sistem hukum di negara lain, termasuk Inggris dalam lingkungan Common Law, dan Prancis sebagai salah satu negara penting pada sistem hukum Eropa Kontinental (Civil Law). Di Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dominan merupakan duplikasi Wetboek van Strafrecht voor Nedherland Indie yang pada dasarnya sama dengan KUHP Belanda (W.v.S). KUHP Belanda yang diberlakukan sejak 1 September 1886 itu pun merupakan kitab undang undang yang cenderung meniru pandangan Code Penal-Prancis yang sangat banyak dipengaruhi sistem hukum Romawi. Secara sederhana, dapat dikatakan terdapat sebuah jembatan sejarah antara ketentuan tentang penghinaan yang diatur dalam KUHP Indonesia dengan perkembangan historis awal tentang libelli famosi di masa Romawi Kuno. Dalam KUHP pencemaran nama baik diistilahkan sebagai penghinaan/penistaan terhadap seseorang, terdapat dalam Bab XVI, Buku I KUHP khususnya pada Pasal 310, Pasal 311, Pasal 315, Pasal 317 dan Pasal 318 KUHP. Pasal Pidana terhadap perbuatan penghinaan terhadap seseorang, secara umum diatur dalam Pasal 310, Pasal 311 ayat (1), Pasal 315, Pasal 317 ayat (1) dan Pasal 318 ayat (1) KUHP yang menyebutkan :

Pasal 310
(1) Barangsiapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,-.
(2) Kalau hal ini dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukan pada umum atau ditempelkan, maka yang berbuat itu dihukum karena menista dengan tulisan dengan hukuman penjara
(3) Tidak termasuk menista atau menista dengan tulisan, jika ternyata bahwa si pembuat melakukan hal itu untuk kepentingan umum atau lantaran terpaksa perlu untuk mempertahankan dirinya sendiri.
Pasal 311 ayat (1)
Barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan, dalam hal ia diizinkan untuk membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.

Pasal 315
Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat menista atau menista dengan tulisan, yang dilakukan kepada seseorang baik ditempat umum dengan lisan, atau dengan tulisan, maupun dihadapan orang itu sendiri dengan lisan atau dengan perbuatan, begitupun dengan tulisan yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, dihukum karena penghinaan ringan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat bulan dua minggu atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,-.

Pasal 317 ayat (1)
Barangsiapa dengan sengaja memasukkan atau menyuruh menuliskan surat pengaduan atas pemberitahuan yang palsu kepada pembesar negeri tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baik orang itu jadi tersinggung, maka dihukum karena mengadu dengan memfitnah, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.

Pasal 318 ayat (1)
Barangsiapa dengan sengaja dengan melakukan sesuatu perbuatan, menyebabkan orang lain dengan palsu tersangka melakukan sesuatu perbuatan yang dapat dihukum, maka dihukum karena tuduhan memfitnah, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun. R. Soesilo menerangkan apa yang dimaksud dengan “menghina”, yaitu “menyerang kehormatan dan nama baik seseorang”. Yang diserang biasanya merasa “malu”. “Kehormatan” yang diserang disini hanya mengenai kehormatan tentang “nama baik”, bukan “kehormatan” dalam lapangan seksuil.[10]

Menurut R. Soesilo, penghinaan dalam KUHP ada 6 macam yaitu :
1. Menista secara lisan (smaad);
2. Menista dengan surat/tertulis (smaadschrift);
3. Memfitnah (laster);
4. Penghinaan ringan (eenvoudige belediging);
5. Mengadu secara memfitnah (lasterlijke aanklacht);
6. Tuduhan secara memfitnah (lasterlijke verdachtmaking).

Semua penghinaan di atas hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang menderita/dinista/dihina (delik aduan), kecuali bila penghinaan itu dilakukan terhadap seorang pegawai negeri pada waktu sedang menjalankan pekerjaannya secara sah. Obyek dari penghinaan tersebut harus manusia perseorangan, maksudnya bukan instansi pemerintah, pengurus suatu perkumpulan, segolongan penduduk dan lain-lain. Bila obyeknya bukan perseorangan, maka dikenakan pasal-pasal khusus seperti : Pasal 134 dan Pasal 137 KUHP (penghinaan pada Presiden atau Wakil Presiden) yang telah dihapuskan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi, serta Pasal 207 dan Pasal 208 KUHP (penghinaan terhadap kekuasaan yang ada di Indonesia).
Berdasarkan Pasal 310 ayat (1) KUHP, penghinaan yang dapat dipidana harus dilakukan dengan cara “menuduh seseorang telah melakukan perbuatan yang tertentu”, dengan maksud tuduhan itu akan tersiar (diketahui orang banyak). Perbuatan yang dituduhkan tidak perlu suatu perbuatan yang boleh dihukum seperti mencuri, menggelapkan, berzinah, dan sebagainya. Perbuatan tersebut cukup perbuatan biasa, yang sudah tentu merupakan perbuatan yang memalukan, misalnya menuduh bahwa seseorang telah berselingkuh. Dalam hal ini bukan perbuatan yang boleh dihukum, akan tetapi cukup memalukan bagi yang berkepentingan bila diumumkan. Tuduhan tersebut harus dilakukan dengan lisan, apabila dilakukan dengan tulisan (surat) atau gambar, maka penghinaan itu dinamakan “menista/menghina dengan surat (secara
tertulis)”, dan dapat dikenakan Pasal 310 ayat (2) KUHP. Penghinaan menurut Pasal 310 ayat (1) dan (2) diatas dapat dikecualikan (tidak dapat dihukum) apabila tuduhan atau penghinaan itu dilakukan untuk membela “kepentingan umum” atau terpaksa untuk “membela diri”. Patut atau tidaknya pembelaan kepentingan umum dan pembelaan diri yang diajukan oleh tersangka terletak pada pertimbangan hakim. Untuk kejahatan memfitnah menurut Pasal 311 KUHP, tidak perlu dilakukan dimuka umum, sudah cukup bila dapat dibuktikan bahwa ada maksud untuk menyiarkan tuduhan tersebut. Jika penghinaan itu berupa suatu pengaduan yang berisi fitnah yang ditujukan kepada Pembesar/pejabat yang berwajib, maka dapat dikenakan pidana Pasal 317 KUHP.
Menurut Prof. Muladi, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro bahwa yang bisa melaporkan pencemaran nama baik seperti yang tercantum dalam Pasal 310 dan 311 KUHP adalah pihak yang diserang kehormatannya, direndahkan martabatnya, sehingga namanya menjadi tercela di depan umum. Namun, tetap ada pembelaan bagi pihak yang dituduh melakukan pencemaran nama baik apabila menyampaikan suatu informasi ke publik. Pertama, penyampaian informasi itu ditujukan untuk kepentingan umum. Kedua, untuk membela diri. Ketiga, untuk mengungkapkan kebenaran. Sehingga orang yang menyampaikan informasi, secara lisan ataupun tertulis diberi kesempatan untuk membuktikan bahwa tujuannya itu benar. Kalau tidak bisa membuktikan kebenarannya, itu namanya penistaan atau fitnah. [11]

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, Pasal-pasal dalam Bab XVI Buku I KUHP tersebut hanya mengatur penghinaan atau pencemaran nama baik terhadap seseorang (perseorangan/individu), sedangkan penghinaan atau pencemaran nama baik terhadap instansi pemerintah, pengurus suatu perkumpulan, atau segolongan penduduk, maka diatur dalam pasal-pasal khusus, yaitu :

1. Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 134 dan Pasal 137 KUHP), pasal pasal ini telah dibatalkan atau dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Mahkamah Konstitusi;
2. Penghinaan terhadap kepala negara asing (Pasal 142 dan Pasal 143 KUHP);
3. Penghinaan terhadap segolongan penduduk/kelompok/organisasi (Pasal 156 dan Pasal 157 KUHP);
4. Penghinaan terhadap pegawai agama (Pasal 177 KUHP);
5. Penghinaan terhadap kekuasaan yang ada di Indonesia (Pasal 207 dan Pasal 208 KUHP).

Selain sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), berkaitan dengan “pencemaran nama baik” juga diatur dalam  UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

dan UU No. 11 Tahun 2008, Pasal 27 ayat (3) yang menyebutkan :
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”


2.        Keputusan Hakim dalam kasus ini
Sebelumnya Prita didakwa melanggar Pasal 45 ayat 1 dan Pasal 27 ayat 33 Undang-undang Informasi dan Transaksi (UU ITE). Ia juga dijerat Pasal 310 dan 311 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
UU ITE Pasal 27 ayat (3):
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penginaan dan/atau pencemaran nama baik. Sementara Pasal 45 ayat (1) Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

KUHP Pasal 310 ayat (1):
Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Ayat (2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Ayat (3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.

KUHP Pasal 311 ayat (1):
Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Ayat (2) Pencabutan hak-hak berdasarkan pasal 35 No. 1 - 3 dapat dijatuhkan.
Dalam putusan yang dibacakan majelis hakim, terdakwa Prita Mulyasari dinyatakan tidak terbukti melakukan pencemaran nama baik atas RS Omni Internasional Alam Sutera Tangerang dan bebas dari segala tuntutan. “Menyatakan Prita Mulyasari tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana pencemaran nama baik dan tuntutan JPU enam bulan kurungan batal. Prita Mulyasari dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum enam bulan penjara dikurangi masa tahanan pada Rabu 18 November 2009. Apa yang dinyatakan oleh  Prita dalam emailnya berjudul “Penipuan RS Omni Internasional Hospital Alam Sutera Tangerang” tidak terkait dengan pelanggaran hukum. Kalimat itu merupakan kritik dan demi kepentingan masyarakat.  Pertimbangan lain yang digunakan majelis hakim, benar adanya Prita meminta menghentikan pengobatan di RS Omni Internasional, Kota Tangerang Selatan. Benar juga, Prita Mulyasari meminta rekam medis yang merupakan catatan otentik selama Prita dirawat di RS Omni. Dan RS Omni tidak memberikan secara utuh rekam medis yang diminta oleh terdakwa. Majelis hakim juga membenarkan pada 12 Agustus 2009, Prita Mulyasari pindah berobat ke RS Bintaro dengan kondisi kedua tangan bengkak, mata bengkak dan demam. Hakim dengan tegas menyatakan customer service RS Omni Internasional Kota Tangerang Selatan, dr Grace yang menerima pengaduan Prita berbuat tidak profesional. Acuannya karena dr Grace menitipkan surat tanggapan ke orang lain.
 Majelis hakim lainnya, Perdana Ginting menilai, judul surat Prita yang bertuliskan : Penipuan RS Omni Internasional dan kalimat di dalam e-mail yang tertulis : Saya informasikan hati-hati dengan dokter Hengky Gozal yang juga berpraktik di RSCM, saya tidak mengatakan jika RSCM jelek, merupakan sebuah kritikan terhadap dokter Hengky. Hal itu karena setelah lima hari menangani pasien, namun tidak dapat melakukan diagnosa penyakit Prita dengan baik.[12]






BAB III
PENUTUP
  1. KESIMPULAN

Dalam sistem hukum di Indonesia belum ada definisi hukum yang tepat tentang apa yang disebut pencemaran nama baik. Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diberlakukan merupakan duplikasi Wetboek van Strafrecht voor Nedherland Indie yang pada dasarnya sama dengan KUHP Belanda (W.v.S). KUHP Belanda, menerangkan bahwa pencemaran nama baik diistilahkan sebagai penghinaan/penistaan terhadap seseorang, yang terdapat dalam Bab XVI, Buku I KUHP khususnya pada Pasal 310, Pasal 311, Pasal 315, Pasal 317 dan Pasal 318 KUHP. Pasal Pidana terhadap perbuatan penghinaan terhadap seseorang, secara umum diatur dalam Pasal 310, Pasal 311, Pasal 315, Pasal 317 dan Pasal 318 KUHP. Adanya pasal-pasal dalam KUHP yang mengatur mengenai pencemaran nama baik/penghinaan selama ini dianggap sebagai aturan pembatasan dalam kebebasan berekspresi dan kemerdekaan berpendapat, khususnya bagi kalangan pers yang seringkali tak jelas dan lebih dimotivasi keinginan dari pembuat undang-undang untuk membatasi akses masyarakat terhadap informasi terutama terhadap beragam informasi yang mempunyai dampak terhadap kehidupan masyarakat. Pembatasan itu terutama berkaitan dengan tindak pidana pencemaran nama baik dan/atau penghinaan (fitnah). Terlepas dari semua problem yang terjadi akibat adanya peraturan pemidanaan atas perbuatan pencemaran nama baik, alangkah baiknya sebagai suatu individu, seseorang dalam berekspresi dan menyatakan pendapat lebih bersikap dewasa dan mengerti akan norma untuk menghormati orang lain, sehingga tidak menimbulkan pertentangan kepentingan di masyarakat.

  1. SARAN

1.                  Proses pemidanaan dengan menggunakan pasal pencemaran nama baik tentunya akan berlawanan dengan semangat kemerdekaan pers dan sudah tidak sesuai dengan tuntutan zaman serta bisa menghalangi kebebasan seseorang dalam mengekspresikan pendapatnya. Oleh karena itu sangat penting untuk tidak mencantumkan pemidanaan dengan menggunakan ketentuan pencemaran nama baik dalam KUHP dan membiarkan para pihak memakai proses perdata sebagaimana  telah diatur oleh UU No 40 Tahun 1999 dan juga Pasal 1365 BW serta Pasal 1372 BW. Kalaupun masih diperlukan adanya pemidanaan melalui ketentuan pencemaran nama baik, maka ketentuan pencemaran nama baik harus dengan rumusan yang jelas serta ada akibat dan/atau kerugian yang nyata dan secara langsung diderita dari orang yang merasa dicemarkan nama baiknya
2.                  Di era reformasi ini merupakan era kebebasan dalam berpendapat, tetapi dalam menyampaikan pendapatnya ataupun keluhan, alangkah baiknya hal tersebut disampaikan dengan penyampaian yang baik pula, sehingga saling menghormati dan tidak menimbulkan pertentangan kepentingan di masyarakat.
















DAFTAR PUSTAKA
BUKU:

Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia, Jakarta, 2004, hlm.131.

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2001, Hlm.1.

UNDANG-UNDANG:

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Bogor, 1996.

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi elektronik

INTERNET:

http://www.goechi.com/newsletter.html
Muladi, Guru Besar Hukum Pidana, “Ancaman Pencemaran Nama Baik Mengintai”, www.hukumonline.com tanggal 30 Mei 2005
http://www.sumeks.co.id/, “Keputusan Akhir Prita Mulyasari”, tanggal 1 Oktober 2009




[1] Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar,  Yogyakarta, Liberty, 2001, Hal.1.

[2] http://www.goechi.com/newsletter.html
[3] Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), hal.131.
[4] Ibid.
[5] Ibid. hal. 132.
[6] Sudikno. Op.Cit., hal.52.
[7]Marwan,  Op.Cit., hal.136.
[8] Ibid, hal. 136-137
[9] Ibid, hal 140-145.
[10] R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal,
    Politeia – Bogor, 1996, hal. 225.
[11] Prof. Muladi, Guru Besar Hukum Pidana, “Ancaman Pencemaran Nama Baik Mengintai”, www.hukumonline.com tanggal
30 Mei 2005.
[12] http://www.sumeks.co.id/

No comments:

Post a Comment